Jumat, 23 Maret 2012

Menjadi Makluk Yang Pandai Bersyukur

Ajarilah, aku ya Allah
Mengenali, karunia-Mu
Begitu banyak yang, Kau beri
Begitu sedikit yang, kusadari
Ajarilah, aku ya Allah
Berterima kasih, pada-Mu
Supaya aku dapat slalu
Mensyukuri nikmat-Mu
Sayup-sayup kudengar alunan sebuah lagu, mengalun merdu dari bibir-bibir mungil
anak-anak yang kira-kira masih berusia balita. Hatikupun bergetar, air mata
menetes membasahi pipi, menyadari betapa pelitnya diri ini mengucap syukur atas
segala karunia yang telah dilimpahkan oleh-Nya. Serta-merta, bibir ini berucap,
“astaghfirullahal ‘adziim” seraya menghapus air mata.
Sejurus kemudian hati ini berbicara, mencoba mengurai satu-persatu nikmat yang
telah terkecap.

Di pagi yang cerah, ketika sinar mentari menghangati tubuh, sungguh ada sebuah
nikmat yang begitu indah terasa. Lalu, ketika kupandangi tubuh ini satu demi
satu masih tetap utuh seperti sedia kala, mata yang mampu melihat dengan
sempurna, tangan yang mampu memegang dan mengerjakan berbagai aktivitas, kaki
yang bisa melangkah, kulit yang mampu merasakan sentuhan angin yang lembut, dan
hidung yang mampu menghirup udara segar. Sungguh, inipun merupakan nikmat yang
begitu besar. Semakin lama kucoba mengurainya, semakin banyak nikmat yang
kurasa. Demikian banyak, dan teramat banyak hingga aku tak mampu menghitung satu
persatu, karena memang tak terhingga jumlahnya. Persis seperti yang Allah
kabarkan dalam firman-Nya: “Dan Dia telah memberikan kepadamu (keperluanmu) dari
segala apa yang kamu mohonkan kepadanya. Dan jika kamu menghitung nikmat Allah,
tidaklah dapat kamu menghinggakannya. Sesungguhnya manusia itu, sangat lalim dan
sangat mengingkari (nikmat Allah) (QS. Ibrahim:31)”. Astaghfirullahal ‘adziim,
lidahkupun menjadi kelu, tak sanggup lebih banyak berucap.
Segalanya Allah anugerahkan kepada diri ini dengan cuma-cuma. Tak serupiahpun
Allah menetapkan tarifnya, tak secuilpun Allah mengharap imbalannya. Namun
mengapakah aku tak pandai bersyukur? Padahal Allah SWT berjanji : “…la in
syakartum la aziidannakum, wala in kafartum inna ‘adzaabi lasyadiid
(Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah (nikmat) kepadamu,
dan jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), maka sesungguhnya azab-Ku sangat pedih)”.
Dan janji Allah selalu benar adanya, tak pernah salah dan tak pernah lupa.
***
Akupun mencoba merenung, apakah gerangan yang membuat diri ini tak pandai
bersyukur? Dalam pandangan masyarakat umum yang kufahami selama ini, segala
sesuatu dianggap sebuah nikmat adalah ketika kita memperoleh sesuatu yang
menyenangkan. Harta yang banyak, rumah yang indah, teman yang selalu setuju dan
menyokong pendapat kita, sehingga kita dapat memenuhi segala keinginan yang ada
dengan segala fasilitas yang mudah didapat tanpa harus bersusah payah bekerja.
Seringkali pula kita tidak menyadari bahwa, mata yang mampu melihat secara
sempurna ini adalah nikmat, tangan yang mampu memegang dan melakukan segala
aktivitas adalah nikmat, kaki yang mampu melangkah adalah nikmat, kesehatan kita
adalah nikmat, oksigen yang melimpah ruah dan bebas kita hirup adalah nikmat,
hidayah Islam yang mengalir dalam diri kita ini adalah nikmat yang teramat mahal
harganya, kasih sayang orang tua yang mampu mengalahkan segalanya demi
membimbing dan membesarkan kita adalah nikmat, dan entah berapa banyak
kenikmatan yang lain yang tidak kita sadari. Padahal, kenikmatan yang Allah
karuniakan kepada kita tak terhingga banyaknya. Masya Allah, astaghfirullahal
‘adziim, semoga Allah berkenan mengampuni kita dan membimbing kita menjadi
hamba-hamba yang pandai bersyukur.
Berikutnya, seringkali kita merasa iri dengan kesenangan/kenikmatan yang
dimiliki oleh orang lain. Ketika kita melihat orang lain bahagia, bukannya kita
ikut bersyukur atas kebahagiaannya. Sebaliknya, kita justru mencibirkan bibir
dan menuduh yang tidak-tidak. Membuat berbagai analisa, darimanakah gerangan
mereka memperoleh kesenangan. Berprasangka buruk dan menyebarkan bermacam
berita, sehingga perilaku tersebut. Menjauhkan diri kita dari rasa syukur kepada
Allah. Astaghfirullah wa na’udzubillahi min dzaalik.
Tak jarang pula, dalam diri kita terjangkit penyakit “wahn (terlalu cinta dunia,
dan takut mati)”, hanya kesenangan dan kesenangan yang ingin kita raih, tak
sedikitpun ingin merasakan sebuah penderitaan. Sehingga ketika Allah berkenan
memberikan sebuah cobaan, diri kita tak sanggup menanggung. Merasa diri menjadi
orang yang paling sengsara di dunia, dan bahkan ada yang sampai berani menghujat
dan menghakimi Allah sebagai penguasa yang tidak adil. Na’udzubillaahi min
dzaalik, astaghfirullahal’adziim.
Disisi lain, Allah jua yang berkenan menciptakan kita sebagai makhluk yang
senang berkeluh kesah. “Sesungguhnya manusia diciptakan bersifat keluh kesah
lagi kikir. Apabila ia ditimpa kesusahan ia berkeluh kesah, dan apabila ia
mendapat kebaikan ia amat kikir. (QS. Al Maariij: 19-21). Bila sifat ini tidak
kita kelola dengan baik, maka tidak menutup kemungkinan bila pada akhirnya diri
ini tumbuh menjadi makhluk yang tak pernah mampu bersyukur.
***
Karenanya, amat baiklah sekiranya kita mampu melatih diri, mensyukuri apa saja
yang ada pada diri kita. Apapun yang Allah berikan kepada kita, haruslah kita
yakini bahwa itulah pilihan terbaik yang Allah kehendaki. Tak perlu iri dan
dengki terhadap nikmat orang lain, hingga kita mampu menjadi seorang mu’min
seperti yang digambarkan oleh Rasulullah Muhammad SAW: “Amat mengherankan
terhadap urusan mu’min, seandainya baik hal itu tidak terdapat kecuali pada
orang mu’min. Bila ditimpa musibah ia bersabar, dan bila diberi nikmat ia
bersyukur” (HR. Muslim).
Terakhir, marilah senantiasa mengamalkan do’a Nabi Sulaiman as. dalam kehidupan
kita. Agar kita senantiasa terbimbing, memperoleh ilham dari Allah SWT, sehingga
kita menjadi makhluk yang pandai bersyukur pada-Nya.
“Robbi awzi’nii an asykuroo ni’matakallatii an’amta ‘alayya wa’alaa waalidayya
wa an a’mala shoolihan tardhoohu wa ad khilnaa birohmatika fii
‘ibaadikashshoolihiin”.
Ya Robb kami, berilah aku ilham untuk tetap mensyukuri nikmat-Mu yang telah
Engkau anugerahkan kepadaku, dan kepada dua orang ibu bapakku, dan untuk
mengerjakan amal shaleh yang Engkau ridhoi; dan masukkanlah aku dengan rahmat-Mu
ke dalam golongan hamba-hamba-Mu yang shaleh. (QS. An Naml : 19). Aamiin.
Wallaahu a’lam bishshowwab.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar